Gugatan Terhadap Penggugat Imam Bukhari – Ditulis oleh : Kharis Nugroho, Lc
Isi Kandungan
Persoalan
Bagaimana bisa dikatakan ilmiyah sebuah disertasi yang mengkritisi metodologi periwayatan Hadits tapi ia mengambil maraji’ tokoh yang banyak dipermasalahkan?
Jawapan
Ada sebuah pepatah dalam bahasa Arab yang berbunyi, “Iqta al-asl fa saqata al-far.” (Tebanglah pohonnya, maka runtuhlah dahannya). Pepatah ini digunakan untuk menghilangkan suatu pengaruh pemikiran atau pendapat seseorang agar tidak diikuti oleh orang lain, yaitu dengan memojokkan orang yang mencentuskan pemikiran itu. Dalam konteks ke-Islaman, untuk menghilangkan kepercayaan umat Islam terhadap kedudukan Hadits Nabawi dalam Islam, maka musuh-musuh Islam membuat argumen-argumen yang bersifat melecehkan para ulama Hadits. Salah satu ulama Hadits menjadi sasaran utama pelecehan mereka adalah Imam al-Bukhari (w 256 H), pengarang kitab al-Jami’ as-Shahih.
Adalah Ignaz Goldziher, – seorang orientalis asal Hungaria dari keluarga Yahudi – yang menjadi pelopor penggugat kredibilitas Imam Bukhari dalam periwayatan Hadits. Prof. Dr. MM Azami dalam bukunya Dirasat fil Hadits an-Nabawi wa Tarikh Tadwinih menyatakan bahwa Ignaz Goldziher menuduh penelitian Hadits yang dilakukan oleh ulama klasik (terutama Imam Bukhari) tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu menurut Goldziher karena para ulama lebih banyak menggunakan metode Kritik Sanad, dan kurang menggunakan metode Kritik Matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu Kritik Matan saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode Kritik Matan. Hanya saja apa yang dimaksud Kritik Matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metode Kritik Matan yang digunakan oleh para ulama. Menurutnya, Kritik Matan Hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio-kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan sebuah Hadits yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dimana menurutnya Bukhari hanya melakukan Kritik Sanad dan tidak melakukan Kritik Matan. Sehingga setelah dilakukan Kritik matan oleh Goldziher, Hadits itu ternyata palsu.
Di antara para penulis modern atau intelektual Islam yang mengikuti cara berfikir kaum orientalis ini adalah Profesor Ahmad Amin. Dalam bukunya Fajr al-Islam, ia ikut melecehkan kredibilitas ulama Hadits secara umum. Kemudian secara khusus, Imam Bukhari dihujatnya. Katanya, “Kita melihat sendiri, meskipun tinggi reputsi ilmiyahnya dan cermat penelitiannya, Imam Bukhari ternyata menetapkan Hadits-hadits yang tidak shahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiyah, karena penelitian beliau hanya terbatas pada kritik sanad saja”.
Menurut Ahmad Amin, banyak Hadits-hadits Bukhari yang yang tidak shahih, atau tepatnya palsu. Diantaranya adalah sebuah Hadits di mana Nabi saw. bersabda, “Seratus tahun lagi tidak ada orang yang masih hidup diatas bumi ini”. Hadits ini oleh Ahmad Amin dinilai palsu, karena ternyata setelah seratus tahun sejak Nabi saw. mengatakan hal itu masih banyak orang yang hidup diatas bumi ini.
Ahmad Amin yang ikut ramai-ramai melecehkan Imam Bukhari ini ternyata keliru dalam memahami maksud hadits tersebut. Sebab yang dimaksud oleh Hadits itu bukanlah sesudah seratus tahun semenjak Nabi SAW mengatakan hal itu tidak akan ada lagi yang masih hidup di atas bumi ini, melainkan adalah bahwa orang-orang yang masih hidup ketika Nabi SAW mengatakan hal itu, seratus tahun lagi mereka sudah wafat semua. Dan ternyata memang demikian, sehingga Hadits itu oleh para ulama dinilai sebagi mukjizat Nabi saw.
Di Indonesia, ada salah satu doktor di bidang Hadits yang terpengaruh oleh pemikiran seperti ini, terutama dalam mengkritik Imam Bukhari. Bahkan ia jadikan kritik ini sebagai disertasi dalam meraih gelar doktornya. Adalah Dr. Muhibbin Noor, seorang doktor di bidang Hadits lulusan UIN Sunan Kalijaga yang menulis buku Kritik Keshahihan Hadits Imam Bukhari, Telaah Kritis Atas Kitab al-Jami’ al-Shahih, yang menyatakan bahwa di dalam kitab al-Jami’ al-Shahih terdapat Hadits-hadits yang dhaif, palsu dan bertentangan dengan Al-Qur-an.
Dalam bukunya, Dr Muhibbin menyebutkan riwayat-riwayat yang bertentangan dengan Al-Qur-an ataupun dengan Hadits yang lain, antar lain Hadits tentang siksa mayit karena ditangisi keluarganya, Hadits tentang Isra Mi’raj, Hadits tentang Nabi saw. terkena sihir dan masih banyak lagi. Di dalam buku tersebut ada sekitar delapan riwayat yang dijadikan sample dalam mengkritisi kitab Jami’ as-Shahih. Amat disayangkan sekali, Dr. Muhibbin tidak banyak mengambil pendapat-pendapat ulama Hadits yang sudah mu’tabar dan mempunyai otoritas dalam keilmuan ini, akan tetapi rujukan yang dia ambil adalah orang-orang yang dalam mengkritisi Hadits banyak dipermasalahkan para ulama Hadits seperti Ahmad Amin, Syeikh Muhammad Ghozali, dan Abu Rayyah.
Bagaimana bisa dikatakan ilmiyah sebuah disertasi yang mengkritisi metodologi periwayatan Hadits dalam al-Jami al-Shahih, ia mengambil maraji’ (sumber surjukan) tokoh yang banyak dipermasalahkan. Bagaimana Dr. Muhibbin mengklaim salah satu Hadits yang ada di dalam al-Jami al-Shahih bahwa Hadits itu bertentangan dengan Al-Qur’an dengan menukil pendapat Abu Rayyah yang mana tokoh ini oleh banyak ulama dianggap sebagai tokoh Inkarussunnah.
Dalam bukunya Adwa Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah, Abu Rayyah juga memposisikan sahabat sebagaimana layaknya para perawi yang lain. Seorang sahabat bisa saja melakukan perbuatan sesuai dengan karakter manusia biasa. Diantara para sahabat mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam menjaga moralitas dan integritasnya. Kalau sahabat yang mempunyai moralitas tinggi, bagi Abu Rayyah tidak menjadi masalah, tapi bagi para sahabat yang moralitasnya rendah, maka tidak layak untuk mendapatkan peringkat al-Adaalah. Dia tidak setuju dengan konsep `Adalah as-Sahaabah dalam periwayatan Hadits secara keseluruhan. Padahal, disamping adanya rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya, kredibilitas Sahabat (‘Adalah as-Shohabah) sebagai periwayat Hadits juga telah disepakati oleh para Ulama. Dalam buku al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah, Al-Khatib Al-Baghdadi (w 463) menuturkan bahwa seluruh Sahabat memiliki kredibilitas sebagai periwayat Hadits adalah merupakan madzhab semua ulama, baik ulama Hadits maupun ulama Fiqh.
Menanggapi tentang salah satu riwayat yang dikutip oleh Dr Muhibbin, yaitu Hadits Umar r.a. tentang siksa mayit karena ditangisi keluarganya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. “Sesungguhnya mayat itu disiksa disebabkan karena sebagian tangis keluarganya terhadap mayat tersebut”. Di dalam bukunya, dia juga menyertakan riwayat Aisyah yang bertentangan dengan riwayat Umar tersebut yang berbunyi “Sesungguhnya Allah akan menambah siksa orang kafir karena ditangisi keluarganya”. Selain menyebutkan riwayat Aisyah ini, Dr Muhibbin juga mengutip Ayat-ayat Al-Qur’an yang menurutnya bertentangan dengan Hadits ini diantaranya An-Najm ayat 38-41 dan Al-An’am ayat 164.
Dari argumen-argumen Dr. Muhibbin diatas, kalau kita lihat sepintas memang masuk akal, apalagi bagi masyarakat umum. Sebenarnya, cara semacam ini hampir sama dengan cara orientalis dalam mengecoh pembaca, yaitu dengan mendistorsi pendapat-pendapat ulama Hadits tentang penyelesaian suatu Hadits yang kelihatannya bertolak belakang atau kotroversial.
Para Ulama sudah mempunyai metodologi dalam memaknai Hadits seperti ini. Karena Aisyah maupun Umar sama-sama tidak mungkin berdusta, maka para ulama telah menetapkan bahwa kedua versi hadits (riwayat Umar dan Aisyah) tersebut adalah shahih. Kedua Hadits itu memang kontroversial, maka para ulama kemudian memahaminya dengan melakukan pendekatan jamak, yaitu menggabungkan pengertian kedua versi tersebut. Sehingga maksud Hadits itu berbunyi: “Mayat yang kafir akan ditambahi siksanya apabila ditangisi keluarganya, dan mayat yang muslim akan disiksa apabila ia – sebelum mati – berpesan agar ditangisi keluarganya.” Adapun ayat-ayat yang disebutkan itu berkaitan dengan keduniaan. Sebagaimana surat al-An’am 164, yang menurut Ibn Qutaibah ini berkaitan dengan hukum dunia. Jadi di dunia, manusia tidak akan menanggung kesalahan orang lain.
Tampaknya Dr. Muhibbin terlalu tergesa-gesa dalam menganalisa kontroversialitas Hadits ini tanpa melakukan metode jamak sebagaimana yang dilakukan ulama-ulama Hadits. Kalaupun tidak bisa dilakukan dengan metode jamak ini, para ulama juga masih mempunyai metode-metode alternatif lain yaitu metode naskh (Hadits yang dahulu dinyatakan dihapus masa berlakunya oleh hadits yang disabdakan belakangan), metode tarjih (meneliti Hadits yang mana memiliki kualitas ilmiyah tertinggi diantara Hadits-hadits yang kontroversial tadi), dan metode tawaquf (maksudnya Hadits-hadits yang kontroversial dibiarkan saja sementara, seraya terus diteliti mana yang mungkin dapat meningkat kualitasnya) , dan tampaknya metode ini juga tidak dilakukannya.
Para Ulama Hadits telah memberikan perhatian serius terhadap masalah ini. Menurut para Ulama Hadits, Imam Syafi’i (w 204 H) adalah orang yang pertama kali membahas kontroversialitas Hadits dalam kitabnya Ikhtilaf Al-Hadits. Kemudian Imam Ibnu Qutaibah ad-Dainuri (w 276 H) juga mengkaji masalah ini dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits. Berikutnya, Imam Ibnu Jarir (w 310 H) dan Imam at-Tahawi (w 321 H) juga membahas dalam kitab Musykil al-Atsar. Sementara Imam Ibnu Khuzaimah (w 311 H) disebut-sebut sebagai orang yang melakukan kajian paling bagus dalam masalah ini sampai beliau berkata, “Saya tidak mengetahui lagi ada dua Hadits yang kontroversial maknanya. Apabila masih ada orang yang menemukan hal itu, bawalah kepada saya, saya akan menjelaskan maksud Hadits-hadits itu”.
Seorang pakar Hadits asal Indonesia, Prof. Dr. Ali Musthafa Yaqub dalam bukunya Kritik Hadis menyatakan, adalah suatu tindakan yang sangat gegabah dan tidak ilmiyah sama sekali apabila ada orang yang terburu-buru menvonis bahwa suatu Hadits itu palsu –menurut penilaiannya- karena bertentangan dengan nalar yang sehat, bertentangan dengan Al-Quran, dan bertentangan dengan Hadits yang lain yang sederajat kualitasnya, sebelum ia memeriksa karya tulis para ulama dahulu yang membahas masalah tersebut. Sebab, ketidaktahuan seseorang dalam memahami maksud suatu Hadits tidak dapat dijadikan alasan untuk menilai bahwa Hadits tersebut palsu.
Di sinilah letak ketidak ilmiyahan Dr. Muhibbin dalam menvonis bahwa dalam Hadits-hadits Bukhari terdapat riwayat-riwayat yang palsu dan bertentangan dengan Al-Quran. Disamping kritik Dr. Muhibbin ini tidak ilmiyah, juga akan berakibat fatal terhadap umat Islam karena manakala kepercayaan umat islam terhadap Imam Bukhari dalam kitabnya al-Jami al-Shahih sudah tumbang, akan tumbang pula kepercayaan mereka terhadap Hadits Nabawi, terutama yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang merupakan kitab paling Shahih setelah Al-Qur’an. Sebuah kritik yang kurang pantas dilakukan oleh seseorang yang mengaku doktor di bidang Hadits.
Peserta Program Kaderisasi Ulama Institut Study Islam Darussalam Gontor
Sumber
http://www.hidayatullah.com/ index.php? option=com_ content&view=article&id=9299:2009- 09-28-12- 48-50&catid=147:pemikiran&Itemid=70 [16/12/2009 : 15:49]